Monday, March 02, 2009
Don't do this maann!!
This afternoon, though, I was quite surprised. There were two guys; they are not too old, maybe around early twenties. They work for IM3 and clearly work for some marketing gimmick or such. They dressed up in bright color: yellow and purple; wore white make up on their faces and the funniest thing was they wore afro frizzy wig (kribo in bahasa). Oh My God!
Because it was in the afternoon, the students were hanging out on the street like a herd of sheep, they were everywhere.
And those two guys should have been giving out flyers or something but instead they were just squatted in the sidewalk, clueless or may be shocked. Common man, you do not have to humiliate yourself among your peers like that! Hah! I wonder who dragged them to this predicament.
It is ok dress up like that in the middle of the street, who cares man? Cars are just passing around endlessly. But dressing up like that next to a college, especially a college that is famous for its female students? Man you are just going to embarrass yourself.
My suggestion is wash up that make up, put down that wig, and find another job.
The White Tiger
But probably not; just yesterday when I was floating around Sudirman, the Aksara bookstore sucked me with a gigantic force, at that moment some strange mystical power made me succumbed and bought The White Tiger legal version. Oh yeah!
I just finished the book.
Well the thing is, just before I read the book I had just finished watching Slumdog Millionaire. The theme resemblance is striking. It is not 100% the same but it deals with this one common issue: social caste climbing.
The main story revolves around this one boy – or two if it is in Slumdog – who wants to get rich, period. And the ways they climb the social ladder are through murdering, cheating, bribing, and all other degenerated doings that you could ever imagined.
What makes it different is of course the story telling style. What I like best from The White Tiger is the sense of humor that the writer seems posses. It is bitter and surprisingly funny at the same time. You could laugh intensely and without any guilty feeling doing so to the misfortune of the main character, Balram Halwai. Just like when Mr. Ashok, the employer of Balram, asked Balram a few questions in front of Pinky Madame, Mr. Ashok’s wife. The questions were as simple as how many planets on our solar system and the name of the continent where India is, yet Balram answered it incorrectly. Mr. Ashok continued, unintentionally mocking Balram, that to this kind of half-baked people the future of India is being entrusted as if Balram was not there.
So my final conclusion is that the story is not extraordinary, it is just another Hindi movie being written in a book. But, I must admit, the story telling is such a page turner that I cannot lay the book for hours.
I rate this as a good reading! Buy it folks or if you are too broke just download it from the internet! The publisher would not know. Hah!
Saturday, August 18, 2007
Programmer Personality Type
Hmm.. The result explains a lot.
Anyway this is the first time I write in English. I break my sacred rule with doing this though. I always feel that the best thing an Indonesian blogger could do is just to write their blog in Bahasa, a little bit nationalism won't hurt you.
Your programmer personality type is:
DHTB
You're a Doer.
You are very quick at getting tasks done. You believe the outcome is the most important part of a task and the faster you can reach that outcome the better. After all, time is money.
You like coding at a High level.
The world is made up of objects and components, you should create your programs in the same way.
You work best in a Team.
A good group is better than the sum of it's parts. The only thing better than a genius programmer is a cohesive group of genius programmers.
You are a liBeral programmer.
Programming is a complex task and you should use white space and comments as freely as possible to help simplify the task. We're not writing on paper anymore so we can take up as much room as we need.
Tuesday, August 14, 2007
Undercover Economist
Sudah pernah baca Undercover Economist-nya Tim Harford? Nah seperti itulah seharusnya buku ekonomi ditulis. Renyah, kocak, penuh dengan contoh yang bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari, intinya, ini adalah the best book ever untuk genre ekonomi yang pernah saya baca, disusul oleh Freakonomics tentu saja. Tapi, in my humble opinion, bahkan Freakonomics sebagai runner up pun kalah jauh dari buku ini.
Saya menjadi tambah suka buku ini ketika hari sabtu lalu nonton Alone di Bitzmegaplex. Ke sana nonton bareng Adhy, pacarnya Indri, dan temannya Cut. Setelah nonton, karena alasan yang sebenarnya tidak jelas (sebenarnya Adhy mau beli barang keperluan FKG, tapi buat saya tentu saja tidak jelas), kami memutuskan untuk pergi ke carrefour. Di sana ternyata ujung-ujungnya hanya menemani Adhy belanja barang-barang, jadi saya hanya mondar-mandir saja ke sana kemari melihat-lihat barang. Salah satu yang menarik adalah ada barang-barang dengan merk Carrefour. Barang-barang ini konon menurut temannya Adhy punya mutu jelek, kemasan jelek, dan tentu saja hanya menang di harga. Contohnya adalah cairan pembersih lantai merk Carrefour, cairannya encer, hampir-hampir seperti air. Sama saja seperti beli aqua :p. Terus kenapa barang-barang jelek dan murahan ini tetap dijual?
Menurut buku Undercover Economist itu hanyalah strategi penjualan, sales gimick. Pemikirannya kurang lebih seperti ini. Di mata para kapitalis - semoga Tuhan memberkati mereka - , konsumen terbagi menjadi dua jenis saja, orang-orang yang price insensitive - mari kita sebut orang-orang ini tambang uang - dan price sensitive, atau si pelit. Banyak strategi yang sudah diterapkan dan makalah yang sudah ditulis agar si pelit dengan suka rela membeli barang yang ditawarkan penjual. Contohnya adalah diferensiasi harga. Secangkir kopi di starbukcks yang dijual dengan berbagai variasi harga adalah salah satu contohnya.
Sebenarnya tantangan yang paling sulit adalah bagaimana menjamin si tambang uang untuk tidak membeli barang-barang yang lebih murah. Contoh untuk pasta gigi, ada sensodyne yang memiliki harga paling tinggi, disusul dengan pepsodent. Si tambang uang, tentu saja mampu membeli sensodyne, tapi tidak ada yang melarang ia membeli pepsodent kan? Nah jika ia membeli pepsodent ini akan merugikan Carrefour, tentu saja, menjual Sensodyne jauh lebih menguntungkan buat Carrefour karena keuntungannya lebih besar. Maka salah satu strateginya adalah dengan membuat produk dengan merk Carrefour. Biasanya disimpan dengan sengaja di deretan sensodyne dan pepsodent, punya desain produk yang lebih jelek, kering dan tidak sedap dipandang mata, dan tentu saja, kualitas odol yang boleh dibilang pas-pasan. Harapannya adalah pada saat si tambang uang melihat ketiga produk ini ia akan mendapatkan pesan bahwa semakin mahal harga produk semakin bagus pula produk tersebut - padahal tentu saja tidak seperti itu -. Nah, jika pun si tambang uang membeli pasta gigi Carrefour, Carrefour akan memastikan bahwa ia akan kecewa dengan kualitas barangnya. Jadi, pada saat ia membeli barang lagi di Carrefour ia tidak akan tanggung-tanggung untuk membeli pasta gigi dengan harga paling mahal.
Ada risikonya tentu saja. Risikonya adalah pembeli yang kecewa dengan Carrefour, toh bagaimanapun juga barang tersebut membawa brand Carrefour ya kan? Tapi saya kira, Carrefour tidak akan kehilangan konsumen bagaimanapun juga. Konsumen datang ke Carrefour untuk membeli barang berbagai macam merk, bukan merk Carrefour. Brand positioning Carrefour bukan di lini produk tapi sebagai tempat membeli produk-produk tersebut.
Nah ini ada lagi contoh strategi untuk memaksimalkan keuntungan dari si tambang uang. Contohnya adalah harga makanan di bioskop. Semua orang sudah maklum kalau harga makanan di bioskop selangit. Kenapa ada yang mau repot-repot beli makanan di bioskop? Maksudnya, saya tahu bahwa harga makanan di bioskop mahal dan jika saya seorang pelit maka saya membeli makan dari luar lalu menyelendupkannya ke dalam bioskop atau malah tidak membeli makanan sama sekali. Dan saya yakin orang-orang seperti saya banyak, lalu bukannya dengan demikian malah akan membuang-buang waktu menjual makanan di bioskop? Tapi sekali lagi, makanan di bioskop memang bukan ditujukan kepada si pelit tapi ke si tambang uang. Menurut buku itu, cara ini adalah untuk mengenali siapa yang tambang uang dan siapa yang pelit. Tambang uang ada di mana-mana, dan tugas kapitalislah dengan segala cara untuk mengenali mereka dan mengeruk duit mereka, heehehe...
Buku ini memang benar-benar membuka mata saya. Gile kan, sekali jalan ke Paris Van Java saja saya sudah menemui banyak contoh dari buku itu yang benar-benar sedang terjadi! Baik itu sales gimick, strategi jualan, pricing, atau akal bulus kapitalis lainnya untuk mengeruk habis duit si tambang uang. (Ck dasar nih, berarti kita sedang dikeruk habis2an, katanya emang sih, kapitalis itu orang yang memutar otak (atau membayar orang lain untuk memutar otak) untuk mengeruk uang kita sampai rupiah terakhir, hmm, cara untuk selamat adalah tentu saja menjadi salah satu dari mereka, hahaha.. LOL).
Sangat menantikan buku sejenis deh.
NB: Salah satu contoh lainnya yang sangat menarik dijelaskan di buku itu adalah bagaimana kita tidak mungkin bisa membeli mobil bekas dengan kualitas bagus. Hehe.. argumentasinya unik. Kapan-kapan saya tulis di sini.
Saturday, July 28, 2007
Roda F1
Nah, gak tau kenapa, tadi malam, waktu saya ada di travel dalam perjalanan ke Bandung, saya tidak bisa berhenti memikirkan ini. Mungkin gara-gara saya duduk di samping jendela, saya melulu melihat roda mobil yang melaju kencang. Atau mungkin memang saya ahlinya dalam memikirkan hal-hal tidak penting :p.
Untungnya sebelum menginjakan kaki di Bandung saya dapat jawabannya. Sederhana juga sebenarnya. Kamu pasti ingat kalo misalnya nonton TV di dalam TV, gambarnya pasti berkedip-kedip. Itu karena gambar dalam TV tidak kontinyu, tapi ditampilkan sekian frame per detik. Untuk memberikan kesan kontinyu, jumlah frame ini harus banyak. Sekarang apa hubungannya dengan roda mobil?
Penjelasan dari sekarang akan sedikit njelimet, jadi kalau yang tidak mau susah-susah mikir, mending jangan baca deh. Saya sudah memberi peringatan lho yah!
Kita mulai dulu dari definisi roda maju dan mundur dalam konteks frame per detik dalam televisi.
1. Roda dianggap maju jika frame selanjutnya menampilkan roda sudah berputar antara 0° - 180°.
2. Roda dianggap mundur jika frame selanjutnya menampilkan roda sudah berputar antara 180° - 360°. Kenapa seperti ini? Sederhana saja, bayangkan jika di frame selanjutnya roda berputar 330°. Tentu saja sebenarnya roda bergerak maju, tapi bagi orang yang melihat frame selanjutnya, seolah-olah roda mundur 30°! Benar!
Nah dari titik itulah saya bisa melanjutkan perumusan fenomena ini. Ada saat-saatnya roda diam, padahal roda itu maju, yaitu jika frame selanjutnya menampilkan roda setelah roda berputar tepat 360°, ada saat-saatnya kita tidak tahu apakah roda itu maju atau mundur, itu terjadi jika frame selanjutnya menampilkan roda setelah roda berputar 180 derajat. Dan ada saat-saat roda terlihat maju dan mundur. Seperti itulah kira-kira proses fisis dari fenomena ini.
Sekarang kita siap untuk maju ke tahapan selanjutnya, yaitu membuat model matematis untuk proses ini.
Dari Fisika Dasar, kita tahu jika ingin membandingkan frekuensi roda dengan frekuensi getaran biasa dan kita ingin mendapatkan hasil dalam sudut, kita harus memakai frekuensi sudut roda, dan bukannya frekuensi roda biasa.
Frekuensi sudut roda akan saya nyatakan dengan Fs.
Fs = 2πf
f adalah frekuensi dari rotasi roda.
Frekuensi frame televisi akan saya nyatakan dengan Ff.
Dari proses fisik di atas, jelas bahwa roda dianggap maju jika memenuhi ketentuan sebagai berikut :
0°< Fs/Ff < 180°
2πn < Fs/Ff < 2πn + π
2πn < 2 π f /Ff < 2πn + π
2n < 2f /Ff < 2n + 1
n < f/Ff < n + ½
Roda dianggap mundur jika :
180° < Fs/Ff < 360°
2πn + π < Fs/Ff < 2πn + 2 π, dengan cara yang sama dengan di atas, kita memperoleh :
n + ½ < f/Ff < n + 1
n adalah bilangan cacah.
Jadi kesimpulan dari semua perhitungan di atas sebenarnya sederhana saja, yaitu :
1. Jika perbandingan antara jumlah rotasi yang dilakukan roda dalam satu detik dengan frekuensi frame dalam satu detik antara n dan n + ½, maka kita akan melihat roda maju.
2. Jika perbandingan antara jumlah rotasi yang dilakukan roda dalam satu detik dengan frekuensi frame dalam satu detik antara n + ½ dan n +1, maka kita akan melihat roda mundur.
Apa yang terjadi jika perbandingan tersebut tepat n? Maka kita akan mempresepsi roda diam, sedangkan jika tepat n + ½ kita tidak tahu apakah roda maju atau mundur.
Karena itulah mengapa fenomena ini terlihat jelas pada saat tikungan. Pada tikungan, kecepatan mobil berubah drastis, jadi otomatis kecepatan perputaran roda pun berubah drastis, ujung-ujungnya akan mempengaruhi variabel Fs dalam rumusan di atas.
Tuesday, July 10, 2007
What a style..
Perlu kejelian dan keterampilan lebih untuk membawakan cerita dengan cara ini. Pertama, si penulis harus memiliki keluasan wawasan karakter manusia. Tak mungkin tokoh si tampan, pintar, dan baik hati memandang dunia dengan cara yang sama dengan karakter selanjutnya, wanita cantik dan anggun yang kemana-mana naik angkot. Dan memang itulah yang saya rasakan dari karya Orhan Pamuk ini. Setiap tokoh memiliki cara khasnya sendiri dalam bercerita, ada warnanya, ada iramanya, ada jiwanya. Tokoh wanita Shekure, bercerita dengan sangat wanita, penuh kepura-puraan, hati-hati, gengsian, dan dibalik semua keangkuhannya tetap saja dia memiliki kelemahan-kelemahan terhadap pria pujaan hatinya. Sementara itu tokoh prianya, Si Hitam, sangat romantis, selalu mengatasnamakan cinta pada Shekure untuk setiap tindakan yang ia ambil, selalu mendayu-dayu dan penuh perasaan melankolis pada saat ia menceritakan Shekure namun tetap ternyata memendam pikiran mesum terhadap Shekure. Si Pembunuh, penuh pembenaran diri, penyesalan, ketakutan, dan terus berusaha untuk meyakinkan orang lain dan dirinya sendiri bahwa ia masih sama seperti yang dulu, sebelum menjadi pembunuh. Begitu juga dengan Si Pohon, Si Keping Emas, Si Paman Tercinta, dan tokoh-tokoh lainnya. Kedua adalah, kemampuan untuk Keep It Together!! Jangan kehilangan fokus, must stick to the plan, jangan meleng, dan tenggelam dengan salah satu tokoh saja. Lagi-lagi Orhan Pamuk mengeksekusi ini dengan baik. Meskipun membaca novel ini seperti menonton lomba lari estafet, tapi tetap yang kita bisa melihat benang merah ceritanya, tetap yang menjadi fokus adalah ceritanya tidak terjebak ke pengkultusan salah satu tokoh.
Jadi, all and all, cerita ini menyenangkan untuk dibaca. Sedikit berbeda dari karya-karya peraih nobel lainnya yang selalu berjalan dengan tempo lambat dan terlalu lama dalam membangun latar belakang cerita.
Wednesday, April 04, 2007
- dihapus karena terlalu pribadi - dan tikus
Banyak sebenarnya pengalaman yang bisa saya tuliskan, mulai dari pasang surut - dihapus karena terlalu pribadi - sampai dengan kamar kosan pertama yang penuh tikus.
Mungkin sebaiknya saya bahas terlebih dahulu - dihapus karena terlalu pribadi -.
Pertama saya bingung. - dihapus karena terlalu pribadi -.
Kedua adalah masalah kehidupan saya di jakarta. Tikus.. Tikus.. dan Tikus lagi. Kamar kosan saya yang pertama hanya seluas 6 meter persegi, sempit. Belum lagi lemari dan meja belajar besar yang seakan dijejalkan begitu saja di dalam kamar. Pencahayaannya buruk, sinar matahari hampir tidak bisa masuk ke kamar saya, terhalang rumah besar yang seenaknya nongkrong di samping kamar saya. Dan jangan buat saya mulai menggambarkan lantainya. Pertanyaan yang tepat adalah, lantai apa? Lantai yang berdenyit setiap kali saya injak? Lantai yang terbuat dari kayu berusia 50 tahun? Lantai yang sudah bolong di sana sini? Lantai yang setiap saya injak membuat semua benda dalam kamar ikut bergoyang? Lantai yang hanya ditutupi oleh plastik untuk menutupi semua lubangnya?
Kamar saya berbau apek, karena itu pada hari pertama saya tinggal di sana saya langsung pergi ke carefour, membeli pengharum ruangan. Setelah saya semprotkan ke semua penjuru, ke sudut-sudut yang sulit dijangkau tangan saya, pun setelah saya tutup kamar saya agar baunya mengendap di dinding kamar, bau apek itu tetap tidak hilang. Akhirnya, saya tidur dengan tisu di hidung saya.
Untung saja saya bisa melalui hari pertama.
Esok paginya baru saya sadari satu hal penting. Tidak ada penghuni lain di lantai dua tempat kamar saya berada. Hanya saya. Sepertinya tidak ada yang cukup waras untuk tinggal di tempat seprti itu.
Oh yah, kenapa tikus? Begini ceritanya. Pada awalnya saya sama sekali tidak sadar kalau ada penghuni lain di kamar itu. Setelah beberapa minggu malah, setelah saya merasa cukup nyaman tinggal di kamar jelek itu, saya baru menyadari bahwa ada penghuni lain di kamar itu. Jeruk yang saya beli di alfa mart saya geletakan begitu saja di lantai, sengaja tidak saya habiskan, dengan alasan penghematan. Esoknya, saya terheran-heran karena tiba-tiba di salah satu jeruk itu ada lubang sebesar kelereng marmer. Cukup besar, tapi saya sama sekali tidak menyangka lubang itu hasil ulah tikus. Saya kira cicak, atau seburuk-buruknya manusia kecil yang gemar makan jeruk. Tapi bukan tikus.
Setelah kejadian jeruk itu, secara berturut-turut kue-kue saya habis. Padahal saya tidak pernah merasa memakannya.Saya penasaran setengah mati, sedikit ragu saya untuk mengambil kesimpulan bahwa semua ini adalah hasil ulah seekor tikus. Sampai suatu hari, pada saat saya baru pulang dari Bandung. Ketika saya membuka pintu kamar, tiba-tiba ada makhluk kecil melompat dengan lincahnya dari atas meja, lalu berlari dengan cepat menuju lubang kecil di tembok. Tikus!!
Ada tikus di kamar saya!!! Tanpa pikir panjang saya langsung melaporkan kejadian ini ke Ibu Kos, "Ada tikus yang keluar dari lubang kecil di kamar saya, tikus itu menghabiskan makanan saya." sahut saya datar, "sumpal saja dengan koran lubangnya." Sahut Ibu Kos dengan nada yang lebih datar lagi. OK. Saya sumpal dengan koran dan langsung saya angkat kaki saya untuk mencari kosan lain.
Wednesday, January 03, 2007
Cerita Mengenai Komunis
Tadi ketika melewati samping Taman Lalu Lintas saya melihat spanduk besar bertuliskan “Gerakan Masyarakat Bandung Anti Komunis” atau semacamnya, pada intinya spanduk itu berbicara atas nama warga Bandung untuk menolak komunis.
Saya jadi teringat dengan kisah yang saya alami ketika saya masih kelas 4 SD. Ketika itu pelajaran IPS, Bu Tita wali kelas kami sedang menerangkan di depan, memegang buku pelajaran dengan erat dan mencoba menjabarkan apa yang tertulis di sana. Kemudian cerita dalam buku itu mulai berbicara mengenai kesaktian pancasila. Tiba-tiba Bu Tita terdiam, matanya menajam dan menusuk ke ruang kosong yang ada di tengah kelas, seakan sedang berpikir keras dan bersiap untuk bercerita mengenai sesuatu yang sangat penting. Ia kemudian melangkahkan kakinya ke daun pintu dan dengan sekali sabetan menutup pintu hingga tak ada cahaya yang masuk dari sana, lalu dengan isyarat tangan ia juga meminta anak-anak yang duduk dipinggir jendela untuk menurunkan gorden. Lampu dimatikan. Seketika itu juga ruang kelas menjadi gelap, ngeri, dan angker. “Kesaktian Pancasila,” suaranya memenuhi ruangan kelas kami yang sempit, “telah membebaskan bangsa kita dari ancaman Komunis!!” Saya bisa melihat api patriotisme di matanya. Pelan-pelan ia mulai masuk ke sela kolom-kolom bangku sambil menoleh kanan kiri untuk melihat siswa-siswinya yang hanya bisa duduk kebingungan. “Apakah kalian tahu apa itu Komunis??”, suaranya tetap tinggi dan menimbulkan kesan agung. Entah dengan teman-teman saya, tapi saya memang tidak tahu dengan tepat apa itu komunis, saya hanya pernah mendengarnya sambil lalu saja dan mengambil kesimpulan bahwa komunis entah karena alasan apa jahat. “Komunis adalah jalan setan, komunis mengajarkan bahwa Tuhan itu tidak ada!!” Sedikit kontradiktif tentu, jika Komunis tidak memercayai Tuhan bagaimana bisa ia menjadi ajaran Setan? “Orang-orang komunis telah menculik jendral-jendral kita dan menyiksa mereka karena mereka ingin Indonesia menjadi negara komunis.” Sambil terus berjalan mengelilingi kelas ia mulai menceritakan dengan sangat detil apa yang orang-orang komunis lakukan pada jendral-jendral yang diculik. Mereka mencungkil mata Jendral MT Haryono, menyilet semua bagian tubuh Lettu Piere Tandean, dan terus dan terus mulutnya mengumbar semua tindakan paling barbar yang dapat dilakukan manusia dengan detil yang menakjubkan. Saya ingin muntah, saya bergidik dan merasa beruntung karena saya hanyalah bocah 4 SD yang tidak akan perlu bertemu dengan makhluk-makhluk kejam bernama orang-orang komunis. Kemudian ia sampai di depan kelas, membelakangi kami. Tiba-tiba tubuhnya berbalik dan dengan semangat 45 mulai meneriakan bahwa bangsa ini selamat karena Kesaktian Pancasila. “Dan kalian tahu tokoh utama Kesaktian Pancasila?” Hampir pasti jawabannya Suharto, setidaknya itu yang ada di benak saya, dan benar, “SUHARTO! BAPAK PRESIDEN KITA SUHARTO!” Suaranya menggelegar, bersamaan dengan mengatakan itu ia mulai membuka pintu kelas, cahaya menyembur masuk, memberikan kesan yang sangat spiritual, suci. Isyarat tangannya kembali meminta gorden disingkapkan dan lampu dinyalakan, dengan seketika ruang kelas menjadi terang benderang kontras dengan keadaan sebelumnya yang gelap, ngeri, dan angker. Terang kelas memberikan rasa damai, seperti ada beban berat yang terangkat dari dada kami, Suharto memang dewa penolong, penolong dari keadaan bangsa yang gelap gulita. Pidato Bu Tita berakhir dengan Bu Tita mengepalkan tangannya di depan dada sambil mata terpejam menitikan air mata.
Begitulah, kejadian itu memberikan kesan mendalam bagi saya,namun hanya sampai beberapa hari kemudian. Lucu juga sebenarnya mengapa hal sekonyol ini harus terjadi. Yah, beberapa hari kemudian Bu Tita jatuh sakit. Jelas bukan karena pidatonya yang menggelegar tempo hari, jika penilik sekolah mendengar pidato Bu Tita mungkin mereka akan memberikannya penghargaan. Bukan sakitnya yang lucu, tapi kejadian dengan guru penggantinya, Bu Ida. Saat itu di antara lekak-lekuk pelajaran PMP yang seperti labirin, kami bertemu dengan materi Supersemar. Bu Ida tiba-tiba terdiam matanya menajam dan menusuk ruang kosong di tengah kelas. Kelanjutannya dapat ditebak, raut mukanya berubah dan dengan tiba-tiba ia menutup pintu, mematikan lampu, dan meminta semua gorden diturunkan. Ia berjalan mengelilingi kelas dan dengan suaranya yang juga menggelegar seperti juga Bu Tita mulai berbicara mengenai Kesaktian Pancasila, PKI, G30SPKI, penyiksaan jendral-jendral lengkap dengan pencungkilan mata dan penyiletan tubuh, dan terakhir tentu Suharto. Saat berbicara mengenai Suharto ia membuka pintu, menyalakan lampu, dan menyibakan gorden. Pertunjukan ini berakhir dengan kepalan tangan dan cucuran air mata. Apa yang bisa bocah 9 tahun pikirkan saat melihat kejadian ini? Kemiripannya terlalu menakjubkan, terlalu teatrikal. Hampir-hampir seperti pergi ke pasar seni untuk menonton Happening Art dan pada saat beberapa hari kemudian berkunjung ke pasar seni yang lain, melihat Happening Art itu lagi. Rasa kagum dan terkesima digantikan oleh rasa muak tak tertahankan.
Barulah kemudian saya sadari apa yang terjadi. Beberapa minggu sebelumnya, ada penataran P4 untuk guru-guru SD. Sekolah diliburkan selama tiga hari. Bukan misterinya nampaknya materi penataran P4 itu. Hari pertama guru-guru diajarkan membuka pintu, mematikan lampu, dan memberikan isyarat tangan yang khas untuk menurunkan gorden. Hari kedua pastinya olah vokal, dan beberapa kalimat soal penyiksaan jendral yang agar tidak menimbulkan kebingungan telah diseragamkan. Hari terakhir adalah latihan meneriakan Suharto dengan berbagai julukannya, Bapak Presiden, Bapak Pembangunan, dan sebagainya, kemudian latihan membuka pintu, menyalakan lampu, dan isyarat khusus menyibakan tirai, dan terakhir latihan mengepalkan tangan dan mencucurkan air mata, air mata buaya.
Fiuhh... Caape Deeehh...