Saturday, December 30, 2006

Bu Rasmini

Kemarin, pada saat saya naik angkot buahbatu saya diingatkan dengan cerita masa lalu saya, cerita waktu saya masih bocah SMP kelas 2. Di angkot, saya bertemu dengan Bu Rasmini. Saya perlu mengatakan mengapa ini istimewa: Bu Rasmini bukanlah sembarang guru, ia adalah guru yang telah menebar teror di benak siswa-siswi SMP 13 kala itu. Raut mukanya selalu hemat senyum. Setidaknya selama masa-masa saya di SMP ini, saya tidak pernah sekalipun melihatnya tersenyum. Wajahnya yang dipenuhi oleh keriput dan bintik-bintik hitam tidak memancarkan apapun kecuali semangat untuk menjagal bocah SMP. Dan kemarin setelah kurang lebih tujuh tahun sejak terakhir saya melihatnya, wajahnya masih saja sama, aneh. Saya mengharapkan sosok yang lebih tua, tapi ternyata tidak, kontur mukanya, kulitnya, dan rambut keritingnya yang seperti ijuk semuanya sama dengan apa yang di ingatan saya. Aneh sekali bahwa banyak dalam hidup ini yang berubah, tapi ada beberapa hal yang diam saja, berkubang dalam tanah, enggan untuk berubah.

Ketika itu, jam pertama adalah pelajaran PPKn dengan guru Bu Rasmini. Ada beberapa peraturan yang harus dipenuhi selama mengikuti pelajarannya, pertama jelas adalah harus membawa buku dan LKS PPKn, kedua adalah selalu memakai seragam lengkap, mulai dari sabuk, nama, bet sekolah, sampai lencana, dan ketiga adalah peraturan yang paling aneh, tidak boleh ada siswa yang botak. Saya tidak tahu juga mengapa guru ajaib ini tidak menyukai pria botak, mungkin dulu pada masa mudanya dulu ia pernah patah hati dengan lelaki gundul, siapa tahu. Tapi pendek kata, semua orang tahu peraturan itu, dan tidak ada yang cukup bodoh untuk melanggar perintah Bu Rasmini.

Karena itu saya sangat kaget sekali ketika teman sebangku saya datang ke sekolah dengan kepala botak. Bodoh!! Begitu yang ada di benak saya. Apa yang kamu pikirkan? Apa kamu ingin dibantai? Menyerahkan lehermu ke tukang jagal saja lebih aman daripada datang ke kelas Bu Rasmini dengan kepala botak. Saya berpikir, dengan sedikit antusias sebenarnya, bahwa akan ada pertumpahan darah hari ini. Seseorang akan menangis, keras sekali. Saya sempat berpikir untuk pindah tempat duduk, soalnya bisa saja tanpa alasan yang jelas Bu Rasmini akan ikut memburu orang-orang di sekeliling teman saya yang malang itu. Dia mungkin saja akan mencari-cari kesalahan dan ikut-ikutan membantai saya juga. Tapi pikiran itu cepat berlalu, karena saya ingin duduk di kursi VIP untuk melihat pembantaian itu, dengan risiko apapun. Sepanjang pagi sebelum Bu Rasmini menancapkan batang hidungnya ke kelas kami saya mulai meledek-ledek dan menakut-nakuti teman saya. Saya bisa melihat raut muka teman saya sedikit demi sedikit diliputi kegelisahan, teror mulai nampak di seluruh tubuhnya, badannya yang gempal mulai bergerak-gerak tak tentu, tangannya beberapa kali menyapu kepalanya yang botak, seakan-akan menyesal telah mencukur habis rambutnya.

Tapi kemudian, hidup memang memiliki cara yang aneh untuk membalas kejahatan, dengan cara yang sangat tidak terduga. Dan saya sebagai pelaku kejahatan – puas dengan penderitaan orang lain – merasakan pembalasannya. Ketika Bu Rasmini masuk, ia langsung mengeluarkan lolongan meminta siswa-siswi mengeluarkan buku dan LKS PPKn untuk pemeriksaan rutin. Seperti saya bilang, saya mendapatkan balasannya, ternyata tanpa diduga saya lupa membawa buku PPKn! Ingin rasanya menangis, sebagian karena saya tahu saya akan dipermalukan sebagian juga karena dongkol betapa saya harus mengalami sendiri semua kata-kata yang saya ucapkan untuk teman saya. Saya ingat sekali, suara langkah kaku Bu Rasmini saat ia sedikit demi sedikit mendekat bangku saya, dan Demi Tuhan ia berhenti tepat di samping saya sambil mengeluarkan semacam teriakan Tarzan yang keras sekali, teriakan yang mengekspresikan rasa puas. Kemudian dengan semangat yang membara ia mulai mempraktekan keahliannya, merenggut kepercayaan diri dan harga diri dari seorang bocah SMP yang sudah ketakutan setengah mati. Ia mengatakan bahwa apapun yang membentuk seorang siswa teladan pasti saya tidak memilikinya. Tidak berguna, tidak bisa melakukan tugas paling sederhana pun, orang seperti ini, ia katakan dengan berapi-api, pasti hanya akan berakhir di tempat pembuangan sampah di belakang sekolah dan memulung sisa-sisa manusia lain hanya untuk bertahan hidup... Oke, ia memang tidak mengatakan dengan tepat seperti itu, tapi rasa-rasanya kata-kata itu yang menempel di telinga saya.

Begitulah, di akhir aumannya ia mengeluarkan saya dari kelas. Saya harus menunduk malu keluar dari ruangan kelas. Semua mata sepertinya memandang saya, tidak ada yang cukup mabuk untuk mengeluarkan komentar, teman-teman saya hanya bisa terpana saja, berharap bahwa hal mengerikan seperti ini tidak akan terjadi pada mereka. Begitulah, sampai akhir pelajarannya saya harus duduk di luar kelas, tanpa tahu apa yang harus saya lakukan. Saya cukup terpukul, karena sampai saat itu, saya tidak pernah mengalami hal seperti ini, saya tidak pernah harus keluar dari ruang kelas dengan kepala tertunduk. Dan ternyata teman saya selamat, mungkin tanpa disadari saya telah menyelamatkan teman saya. Bu Rasmini mungkin terlalu dikuasai oleh semangatnya mengeluarkan saya dari kelas sehingga ia melewatkan kepala mengkilat teman saya. Atau mungkin saja, dahaganya telah terpuaskan, untuk apa ia meneguk satu gelas lagi? Wong sudah tidak haus kok.

Makanya, dari pengalaman ini saya merumuskan Nilai Moral Ikhsan ke-1: ”Jangan pernah lupa bawa buku di pelajaran Bu Rasmini, sebelum menghina temanmu yang datang dengan kepala plontos!!” . Sungguh bodoh orang yang tidak meresapi Nilai Moral Ikhsan ke-1.

Saturday, December 23, 2006

Tolstoy vs Sartre

Sekitar dua minggu lalu saya pergi ke Togamas. Saya tidak sendirian sebenarnya, saya bersama teman saya Luki, ia yang menunjukkan toko buku ini, sebelumnya saya tidak pernah ke sini. Togamas adalah toko buku gaya baru. Toko buku yang menerapkan strategi samudra biru kalau kata Luki sih. Kita bisa mendapatkan kenyamanan membeli buku seperti di gramedia, dengan komputer pencari dan sebagainya, tambah juga kita mendapatkan diskon untuk setiap buku, 15%. Jadi toko buku ini adalah hibrida antara gramedia dan palasari. Memang sih diskonnya tidak mencapai 20% seperti palasari, tapi yah hitung-hitung biaya kenyamanan dibandingkan dengan palasari yang susunan bukunya benar-benar acak-acakan (contohnya Bandung Book Center).

Awalnya sih saya ingin mencari bukunya Pramoedya, terakhir baca bukunya tuh kira-kira waktu kelas tiga SMA, buku Rumah Kaca. Sebelumnya saya baca Bumi Manusia, jadi kalau hitungannya kwartet Pulau Buru saya sudah seenaknya loncat dari buku pertama langsung ke buku keempat. Loncat dua buku. Makanya saya mencari Anak Semua Bangsa, buku kedua, supaya alur ceritanya jadi jelas. Tapi sayang Anak Semua Bangsa habis, persis seperti di palasari. Di gramedia sih ada, tapi sedikit malas soalnya harganya 80 ribu, nanti deh kalau sudah dapat kerja.

Jadilah setelah browsing-browsing beberapa buku, akhirnya saya nyantol dengan kumpulan cerpen Leo Tolstoy, judul bukunya mengambil salah satu judul cerpennya: Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu. Sebelumnya saya tidak tahu banyak tentang sosok peraih nobel yang satu ini. Saya hanya tahu kalau dia adalah penulis Rusia. Makanya, alam bawah sadar saya mulai berbuat nakal, dia langsung mencap Leo Tolstoy dengan tipikal orang-orang Rusia yang saya tahu dari film-film Hollywood: bau ( sepertinya sih), rambut acak-acakan, bicara asal-asalan, mabuk, jenggot tak terurus, dan yang paling gawat dan mengerikan dari semuanya, Komunis.

Kemudian, seperti juga semua prasangka, saya salah. Tolstoy bahkan mati sebelum Rusia menjadi negara komunis, ia mati tahun 1910. Jadi dapat dibilang Tolstoy hidup pada abad ke-19. Cerpen-cerpennya mengangkat tema utama permasalahan yang ada pada abad itu, yaitu masalah tuan tanah dengan petani, juga ada satu dua cerpen yang mengangkat kehidupan kaum borjuis Rusia. Tapi kemudian, cerpen-cerpennya pun tidak mengangkat masalah konflik antar kelas petani dan tuan tanah, tidak secara kentara. Saya melihatnya justru cerpen-cerpen Tolstoy bergulat dengan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Serius! Suatu pukulan berat bagi prasangka saya sebelumnya, yang kadung menganggap bahwa Tolsytoy komunis dan kemudian secara otomatis juga ateis – maklum jebolan SD Orde Baru. Selalu saja ada pesan moral dalam cerpennya, membacanya seperti membaca ulang cerita Si Kancil Mencuri Ketimun. Suatu pengalaman baru.

Kemudian saya teringat Sartre, justru karena tidak ada titik temu di antara kedua tokoh ini. Tidak banyak orang yang tahu kalau berkat inspirasi dari Sartrelah saya merumuskan Hukum Pertama Ikhsan: Shit just happens for no reason (Hukum Ikhsan Ke-1). Saya sengaja tulis dalam Bahasa Inggris biar lebih greget, kalau-kalau ada yang belum bisa Bahasa Inggris, terjemahannya kira-kira seperti ini: Kemalangan terjadi begitu saja tanpa alasan. Yah kurang lebih cerpen-cerpennya Sartre selalu mengangkat tema yang selaras dengan Hukum Ikhsan Ke-1. Cerpen-cerpennya selalu menegaskan bahwa hidup dan mati manusia selalu berlalu begitu saja. Tanpa makna, tanpa arti. Semua kesakitan dan penderitaan manusia yang harus dialami juga sama, semuanya tanpa makna dan tanpa arti. Dunia yang gelap dan tanpa harapan. Setiap manusia seperti keledai dungu yang hanya menunggu ajal. Satu saat kita bisa saja hidup sehat dan kuat, tapi sedetik kemudian kita tiba-tiba mati, menghilang dari dunia ini, dan tidak ada orang yang dapat mengatakan kenapa harus seperti itu.

Sepertinya lucu juga kalau cerpen Tolstoy ditulis ulang oleh Sartre, maksud saya cerpen hasilnya pasti membuat dongkol pembaca. Tolstoy seringkali menggambarkan tokoh malang yang sepertinya kehidupan tidak pernah memihak dia. Namun, untung bagi pembaca, si tokoh pada akhirnya menemukan kebahagiaan sejati. Seperti misalnya di cerpen Ilyas, Alyosha, dan Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu. Jadi setelah membaca cerpennya saya akan merasa tenang, karena ternyata di kehidupan ini ada sesuatu yang memang layak diperjuangkan dan jika kita berjuang cukup keras, pada akhirnya kita akan bahagia. Sartre merusak semua ini. Tidak! Ia bilang dengan tegas, manusia tidak ditakdirkan untuk bahagia, semua akan berakhir dengan kesia-siaan bukan kebahagiaan. Misalkan kita ambil satu cerpen sebagai contoh, katakanlah Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu. Di cerpen aslinya, tokoh Aksenof melindungi dan memaafkan orang yang telah memfitnahnya, Makar, setelah sebelumnya Makar membuat Aksenof harus menghabiskan 26 tahun hidupnya sebagai narapidana di Siberia. Tapi kemudian, 26 tahun hidupnya tidak terbuang percuma, karena tepat setelah ia melindungi dan memaafkan orang yang telah memfitnahnya, Aksenof merasakan kebahagiaan sejati. Ia akhirnya mati dalam ketenangan. Coba saja cerita ini diserahkan kepada Sartre, setelah Aksenof melindungi dan memaafkan Makar, Makar malah menjerumuskan Aksenof ke dalam kemalangan untuk yang keduakalinya, dan pada akhirnya Aksenof harus hidup dan mati sia-sia. Tidak ada kebaikan di dunia ini, tidak ada kebahagiaan di dunia ini, semuanya adalah kesia-siaan. Tapi yah kedua penulis ini memang memiliki genre yang berbeda dan sulit sekali rasanya untuk mereka-reka bentuk suatu cerpen andaikata cerpen itu ditulis oleh orang yang berbeda.

Kalau harus memilih di antara kedua penulis ini, sepertinya saya harus memilih Sartre. Soalnya, setelah membaca Sartre saya akan merasa senang: Bagus!! Ternyata ada orang yang lebih sial dari saya. Sedangkan setelah baca Tolstoy, saya selalu bertanya-tanya: emang ada yah orang macam gini sekarang?? Jadi yah ini mah hanya soal selera. Silakan pilih yang kamu suka.

Monday, December 04, 2006

Ancient Newton

Saya selalu bertanya-tanya apakah setiap jaman memiliki model manusia suksesnya sendiri-sendiri. Pada saat ini misalnya, terutama di perkotaan, manusia tidak memiliki ketergantungan pada masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia menjadi teralienasi dari lingkungan tempat ia tinggal. Perasaan satu dengan komunitas menjadi suatu komoditas yang langka dan berkurang nilainya. Motivasi dari tindak tanduk seorang manusia terkerucutkan menjadi hanya pada pemenuhan kebutuhan aku saja. Tidak ada pertimbangan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Pada masyarakat yang seperti itu, perilaku anti sosial ditolerir bahkan mewabah.

Newton adalah seorang anti sosial. Ia mati perawan dan hampir tidak pernah memiliki sahabat sejati. Ia nampaknya tidak memiliki kemampuan untuk menjalin suatu hubungan antar manusia dalam bentuk apapun. Namun, ia adalah seorang manusia yang dihormati sampai detik ini. Newton memang beruntung karena lahir pada abad di mana ilmu mulai memiliki kedudukan yang penting. Manusia mulai berpaling pada ilmu alam untuk menjelaskan keberadaannya di dunia ini.

Tapi bagaimana jika Newton lahir ribuan tahun silam. Pada saat manusia belum menghargai ilmu pengetahuan dan pada saat kemampuan untuk menjalin hubungan antar manusia mutlak diperlukan untuk bertahan hidup. Dapatkah manusia seperti Newton bertahan pada masa seperti itu?

Saya bisa membayangkan satu skenario jika Newton lahir ribuan tahun lalu, katakanlah pada masyarakat yang masih melakukan food gathering untuk bertahan hidup. Pada suatu sore setelah semua laki-laki dalam masyarakat itu pulang berburu – kecuali Newton tentu saja – dan wanita-wanitanya sedang mempersiapkan makanan, Newton tiba-tiba berdiri dan berteriak : “Bumi itu bulat seperti Batu!”. Tentu saja ini menimbulkan kegemparan. Tetua-tetua masyarakat itu langsung merapatkan apa yang harus mereka lakukan pada pemuda ini. Ada yang bilang usir saja, toh di sini pun ia tidak pernah melakukan apa-apa, hampir seharian ia hanya mengurung dirinya sendiri di bagian gua yang paling dalam dan di lain waktu ia pergi entah kemana sambil membawa benda-benda aneh buatannya dan baru kembali seminggu atau dua minggu kemudian. Beberapa bahkan mengusulkan yang lebih ekstrem lagi, penggal saja, itu karena beberapa minggu yang lalu Newton tertangkap meracuni pikiran anak-anak muda dengan mengatakan bahwa hujan bukanlah ludah dari Arkam, Dewa mereka yang agung, hujan datangnya dari sungai katanya. Huh orang bodoh saja tahu bahwa sungai bermuara ke laut bukan ke awan. Newton bahkan mengatakan pohon-pohon tidak memiliki roh penunggu!! Demi para Dewa!! Penghinaan apalagi yang akan dilakukan oleh pemuda Newton ini jika ia dibiarkan tetap hidup. Setelah perdebatan yang alot, akhirnya diputuskanlah bahwa pemuda Newton, jika ingin tetap hidup di tengah-tengah masyarakat ini tidak boleh mengeluarkan suara apa pun. Ia tidak boleh bicara dan diharuskan untuk lebih banyak membantu masyarakatnya. Bagaimanapun juga meskipun pikirannya miring dan tidak waras namun Newton masih muda dan memiliki tenaga yang cukup untuk bekerja meskipun hanya cukup untuk membantu para wanita.

Begitulah, mungkin karena itu orang-orang sekaliber Newton baru bermunculan di abad-abad sekarang. Beberapa ribu tahun yang lalu mereka tidak mendapatkan tempat.