Tuesday, July 10, 2007

What a style..

Baru kali ini saya membaca buku sejenis My Name is Red kaya Orhan Pamuk. Saya yakin gaya bertutur multiple-point-of-view buku ini tidak orisinal-orisinal amat. Beberapa penulis Indonesia, sebut saja Ayu Utami, atau Dee dengan karya ambisiusnya, supernova, menggunakan gaya ini. Tapi, saya kira Ayu Utami maupun Dee tidak murni menggunakan gaya multiple-point-of-view. Di Saman ataupun Supernova pembaca masih dapat dengan cekatan memilah-milah siapa sedang bercerita apa, alasannya ya karena biasanya satu tokoh diberi porsi cukup besar, biasanya berpuluh-puluh halaman, untuk menceritakan cerita versi dirinya. MNISR lain, terutama karena cerita bergulir seperti lomba lari estafet. Pemegang tongkat akan menceritakan kisah dari sudut pandangnya sendiri dengan alur murni maju dan kemudian dengan cepat ia akan menyerahkan tongkat ini ke orang selanjutnya. Katakanlah, saya sedang bercerita bahwa saya melihat wanita cantik di angkot, lalu saya memutuskan untuk berkenalan dengan wanita itu. Tiba-tiba pada bab berikutnya si aku akan menjadi wanita cantik di angkot, dan ia bercerita persis saat cerita itu saya tinggalkan. Mungkin ia akan bercerita bertemu pria tampan yang cukup punya nyali untuk berkenalan di angkot. Wanita ini, kegirangan, lalu menceritakan cerita ini ke temannya. Dan di bab berikutnya teman wanita inilah yang menjadi si aku, dan seterusnya-dan seterusnya.

Perlu kejelian dan keterampilan lebih untuk membawakan cerita dengan cara ini. Pertama, si penulis harus memiliki keluasan wawasan karakter manusia. Tak mungkin tokoh si tampan, pintar, dan baik hati memandang dunia dengan cara yang sama dengan karakter selanjutnya, wanita cantik dan anggun yang kemana-mana naik angkot. Dan memang itulah yang saya rasakan dari karya Orhan Pamuk ini. Setiap tokoh memiliki cara khasnya sendiri dalam bercerita, ada warnanya, ada iramanya, ada jiwanya. Tokoh wanita Shekure, bercerita dengan sangat wanita, penuh kepura-puraan, hati-hati, gengsian, dan dibalik semua keangkuhannya tetap saja dia memiliki kelemahan-kelemahan terhadap pria pujaan hatinya. Sementara itu tokoh prianya, Si Hitam, sangat romantis, selalu mengatasnamakan cinta pada Shekure untuk setiap tindakan yang ia ambil, selalu mendayu-dayu dan penuh perasaan melankolis pada saat ia menceritakan Shekure namun tetap ternyata memendam pikiran mesum terhadap Shekure. Si Pembunuh, penuh pembenaran diri, penyesalan, ketakutan, dan terus berusaha untuk meyakinkan orang lain dan dirinya sendiri bahwa ia masih sama seperti yang dulu, sebelum menjadi pembunuh. Begitu juga dengan Si Pohon, Si Keping Emas, Si Paman Tercinta, dan tokoh-tokoh lainnya. Kedua adalah, kemampuan untuk Keep It Together!! Jangan kehilangan fokus, must stick to the plan, jangan meleng, dan tenggelam dengan salah satu tokoh saja. Lagi-lagi Orhan Pamuk mengeksekusi ini dengan baik. Meskipun membaca novel ini seperti menonton lomba lari estafet, tapi tetap yang kita bisa melihat benang merah ceritanya, tetap yang menjadi fokus adalah ceritanya tidak terjebak ke pengkultusan salah satu tokoh.

Jadi, all and all, cerita ini menyenangkan untuk dibaca. Sedikit berbeda dari karya-karya peraih nobel lainnya yang selalu berjalan dengan tempo lambat dan terlalu lama dalam membangun latar belakang cerita.

3 comments:

Lucky said...

o iya? PINJEM! ;))

Unknown said...

baru beli tapi belum sempet baca euy...

Ikhsan said...

@Lucky: Balikeun heula buku Beautiful Mind urang n plenty other books u borrowed from me :p