Wednesday, January 03, 2007

Cerita Mengenai Komunis

Tadi ketika melewati samping Taman Lalu Lintas saya melihat spanduk besar bertuliskan “Gerakan Masyarakat Bandung Anti Komunis” atau semacamnya, pada intinya spanduk itu berbicara atas nama warga Bandung untuk menolak komunis.

Saya jadi teringat dengan kisah yang saya alami ketika saya masih kelas 4 SD. Ketika itu pelajaran IPS, Bu Tita wali kelas kami sedang menerangkan di depan, memegang buku pelajaran dengan erat dan mencoba menjabarkan apa yang tertulis di sana. Kemudian cerita dalam buku itu mulai berbicara mengenai kesaktian pancasila. Tiba-tiba Bu Tita terdiam, matanya menajam dan menusuk ke ruang kosong yang ada di tengah kelas, seakan sedang berpikir keras dan bersiap untuk bercerita mengenai sesuatu yang sangat penting. Ia kemudian melangkahkan kakinya ke daun pintu dan dengan sekali sabetan menutup pintu hingga tak ada cahaya yang masuk dari sana, lalu dengan isyarat tangan ia juga meminta anak-anak yang duduk dipinggir jendela untuk menurunkan gorden. Lampu dimatikan. Seketika itu juga ruang kelas menjadi gelap, ngeri, dan angker. “Kesaktian Pancasila,” suaranya memenuhi ruangan kelas kami yang sempit, “telah membebaskan bangsa kita dari ancaman Komunis!!” Saya bisa melihat api patriotisme di matanya. Pelan-pelan ia mulai masuk ke sela kolom-kolom bangku sambil menoleh kanan kiri untuk melihat siswa-siswinya yang hanya bisa duduk kebingungan. “Apakah kalian tahu apa itu Komunis??”, suaranya tetap tinggi dan menimbulkan kesan agung. Entah dengan teman-teman saya, tapi saya memang tidak tahu dengan tepat apa itu komunis, saya hanya pernah mendengarnya sambil lalu saja dan mengambil kesimpulan bahwa komunis entah karena alasan apa jahat. “Komunis adalah jalan setan, komunis mengajarkan bahwa Tuhan itu tidak ada!!” Sedikit kontradiktif tentu, jika Komunis tidak memercayai Tuhan bagaimana bisa ia menjadi ajaran Setan? “Orang-orang komunis telah menculik jendral-jendral kita dan menyiksa mereka karena mereka ingin Indonesia menjadi negara komunis.” Sambil terus berjalan mengelilingi kelas ia mulai menceritakan dengan sangat detil apa yang orang-orang komunis lakukan pada jendral-jendral yang diculik. Mereka mencungkil mata Jendral MT Haryono, menyilet semua bagian tubuh Lettu Piere Tandean, dan terus dan terus mulutnya mengumbar semua tindakan paling barbar yang dapat dilakukan manusia dengan detil yang menakjubkan. Saya ingin muntah, saya bergidik dan merasa beruntung karena saya hanyalah bocah 4 SD yang tidak akan perlu bertemu dengan makhluk-makhluk kejam bernama orang-orang komunis. Kemudian ia sampai di depan kelas, membelakangi kami. Tiba-tiba tubuhnya berbalik dan dengan semangat 45 mulai meneriakan bahwa bangsa ini selamat karena Kesaktian Pancasila. “Dan kalian tahu tokoh utama Kesaktian Pancasila?” Hampir pasti jawabannya Suharto, setidaknya itu yang ada di benak saya, dan benar, “SUHARTO! BAPAK PRESIDEN KITA SUHARTO!” Suaranya menggelegar, bersamaan dengan mengatakan itu ia mulai membuka pintu kelas, cahaya menyembur masuk, memberikan kesan yang sangat spiritual, suci. Isyarat tangannya kembali meminta gorden disingkapkan dan lampu dinyalakan, dengan seketika ruang kelas menjadi terang benderang kontras dengan keadaan sebelumnya yang gelap, ngeri, dan angker. Terang kelas memberikan rasa damai, seperti ada beban berat yang terangkat dari dada kami, Suharto memang dewa penolong, penolong dari keadaan bangsa yang gelap gulita. Pidato Bu Tita berakhir dengan Bu Tita mengepalkan tangannya di depan dada sambil mata terpejam menitikan air mata.

Begitulah, kejadian itu memberikan kesan mendalam bagi saya,namun hanya sampai beberapa hari kemudian. Lucu juga sebenarnya mengapa hal sekonyol ini harus terjadi. Yah, beberapa hari kemudian Bu Tita jatuh sakit. Jelas bukan karena pidatonya yang menggelegar tempo hari, jika penilik sekolah mendengar pidato Bu Tita mungkin mereka akan memberikannya penghargaan. Bukan sakitnya yang lucu, tapi kejadian dengan guru penggantinya, Bu Ida. Saat itu di antara lekak-lekuk pelajaran PMP yang seperti labirin, kami bertemu dengan materi Supersemar. Bu Ida tiba-tiba terdiam matanya menajam dan menusuk ruang kosong di tengah kelas. Kelanjutannya dapat ditebak, raut mukanya berubah dan dengan tiba-tiba ia menutup pintu, mematikan lampu, dan meminta semua gorden diturunkan. Ia berjalan mengelilingi kelas dan dengan suaranya yang juga menggelegar seperti juga Bu Tita mulai berbicara mengenai Kesaktian Pancasila, PKI, G30SPKI, penyiksaan jendral-jendral lengkap dengan pencungkilan mata dan penyiletan tubuh, dan terakhir tentu Suharto. Saat berbicara mengenai Suharto ia membuka pintu, menyalakan lampu, dan menyibakan gorden. Pertunjukan ini berakhir dengan kepalan tangan dan cucuran air mata. Apa yang bisa bocah 9 tahun pikirkan saat melihat kejadian ini? Kemiripannya terlalu menakjubkan, terlalu teatrikal. Hampir-hampir seperti pergi ke pasar seni untuk menonton Happening Art dan pada saat beberapa hari kemudian berkunjung ke pasar seni yang lain, melihat Happening Art itu lagi. Rasa kagum dan terkesima digantikan oleh rasa muak tak tertahankan.

Barulah kemudian saya sadari apa yang terjadi. Beberapa minggu sebelumnya, ada penataran P4 untuk guru-guru SD. Sekolah diliburkan selama tiga hari. Bukan misterinya nampaknya materi penataran P4 itu. Hari pertama guru-guru diajarkan membuka pintu, mematikan lampu, dan memberikan isyarat tangan yang khas untuk menurunkan gorden. Hari kedua pastinya olah vokal, dan beberapa kalimat soal penyiksaan jendral yang agar tidak menimbulkan kebingungan telah diseragamkan. Hari terakhir adalah latihan meneriakan Suharto dengan berbagai julukannya, Bapak Presiden, Bapak Pembangunan, dan sebagainya, kemudian latihan membuka pintu, menyalakan lampu, dan isyarat khusus menyibakan tirai, dan terakhir latihan mengepalkan tangan dan mencucurkan air mata, air mata buaya.

Fiuhh... Caape Deeehh...


2 comments:

Lucky said...

seriussshhhh lo san????
guru2urang baheula mah justru ngejelk-jelekin keluarga cendana, ngebongkar aibnya, dan kita semua waktu itu cuma bisa kaget (soalnya yg gituan gak umum...).

Ikhsan said...

Hehe coba tebak, ini cerita nyata ato karangan... :p