Saturday, July 28, 2007

Roda F1

Penasaran enggak sih, kenapa kalo nonton F1, ada saat-saatnya roda mobil seperti berputar ke belakang? Jadi roda seperti berputar ke belakang padahal jelas-jelas mobilnya melaju ke depan. Aneh gak?

Nah, gak tau kenapa, tadi malam, waktu saya ada di travel dalam perjalanan ke Bandung, saya tidak bisa berhenti memikirkan ini. Mungkin gara-gara saya duduk di samping jendela, saya melulu melihat roda mobil yang melaju kencang. Atau mungkin memang saya ahlinya dalam memikirkan hal-hal tidak penting :p.

Untungnya sebelum menginjakan kaki di Bandung saya dapat jawabannya. Sederhana juga sebenarnya. Kamu pasti ingat kalo misalnya nonton TV di dalam TV, gambarnya pasti berkedip-kedip. Itu karena gambar dalam TV tidak kontinyu, tapi ditampilkan sekian frame per detik. Untuk memberikan kesan kontinyu, jumlah frame ini harus banyak. Sekarang apa hubungannya dengan roda mobil?

Penjelasan dari sekarang akan sedikit njelimet, jadi kalau yang tidak mau susah-susah mikir, mending jangan baca deh. Saya sudah memberi peringatan lho yah!

Kita mulai dulu dari definisi roda maju dan mundur dalam konteks frame per detik dalam televisi.
1. Roda dianggap maju jika frame selanjutnya menampilkan roda sudah berputar antara 0° - 180°.
2. Roda dianggap mundur jika frame selanjutnya menampilkan roda sudah berputar antara 180° - 360°. Kenapa seperti ini? Sederhana saja, bayangkan jika di frame selanjutnya roda berputar 330°. Tentu saja sebenarnya roda bergerak maju, tapi bagi orang yang melihat frame selanjutnya, seolah-olah roda mundur 30°! Benar!

Nah dari titik itulah saya bisa melanjutkan perumusan fenomena ini. Ada saat-saatnya roda diam, padahal roda itu maju, yaitu jika frame selanjutnya menampilkan roda setelah roda berputar tepat 360°, ada saat-saatnya kita tidak tahu apakah roda itu maju atau mundur, itu terjadi jika frame selanjutnya menampilkan roda setelah roda berputar 180 derajat. Dan ada saat-saat roda terlihat maju dan mundur. Seperti itulah kira-kira proses fisis dari fenomena ini.

Sekarang kita siap untuk maju ke tahapan selanjutnya, yaitu membuat model matematis untuk proses ini.

Dari Fisika Dasar, kita tahu jika ingin membandingkan frekuensi roda dengan frekuensi getaran biasa dan kita ingin mendapatkan hasil dalam sudut, kita harus memakai frekuensi sudut roda, dan bukannya frekuensi roda biasa.
Frekuensi sudut roda akan saya nyatakan dengan Fs.
Fs = 2πf
f adalah frekuensi dari rotasi roda.

Frekuensi frame televisi akan saya nyatakan dengan Ff.

Dari proses fisik di atas, jelas bahwa roda dianggap maju jika memenuhi ketentuan sebagai berikut :

0°< Fs/Ff < 180°

2πn < Fs/Ff < 2πn + π

2πn < 2 π f /Ff < 2πn + π

2n < 2f /Ff < 2n + 1

n < f/Ff < n + ½

Roda dianggap mundur jika :

180° < Fs/Ff < 360°

2πn + π < Fs/Ff < 2πn + 2 π, dengan cara yang sama dengan di atas, kita memperoleh :

n + ½ < f/Ff < n + 1

n adalah bilangan cacah.

Jadi kesimpulan dari semua perhitungan di atas sebenarnya sederhana saja, yaitu :
1. Jika perbandingan antara jumlah rotasi yang dilakukan roda dalam satu detik dengan frekuensi frame dalam satu detik antara n dan n + ½, maka kita akan melihat roda maju.
2. Jika perbandingan antara jumlah rotasi yang dilakukan roda dalam satu detik dengan frekuensi frame dalam satu detik antara n + ½ dan n +1, maka kita akan melihat roda mundur.

Apa yang terjadi jika perbandingan tersebut tepat n? Maka kita akan mempresepsi roda diam, sedangkan jika tepat n + ½ kita tidak tahu apakah roda maju atau mundur.

Karena itulah mengapa fenomena ini terlihat jelas pada saat tikungan. Pada tikungan, kecepatan mobil berubah drastis, jadi otomatis kecepatan perputaran roda pun berubah drastis, ujung-ujungnya akan mempengaruhi variabel Fs dalam rumusan di atas.

Tuesday, July 10, 2007

What a style..

Baru kali ini saya membaca buku sejenis My Name is Red kaya Orhan Pamuk. Saya yakin gaya bertutur multiple-point-of-view buku ini tidak orisinal-orisinal amat. Beberapa penulis Indonesia, sebut saja Ayu Utami, atau Dee dengan karya ambisiusnya, supernova, menggunakan gaya ini. Tapi, saya kira Ayu Utami maupun Dee tidak murni menggunakan gaya multiple-point-of-view. Di Saman ataupun Supernova pembaca masih dapat dengan cekatan memilah-milah siapa sedang bercerita apa, alasannya ya karena biasanya satu tokoh diberi porsi cukup besar, biasanya berpuluh-puluh halaman, untuk menceritakan cerita versi dirinya. MNISR lain, terutama karena cerita bergulir seperti lomba lari estafet. Pemegang tongkat akan menceritakan kisah dari sudut pandangnya sendiri dengan alur murni maju dan kemudian dengan cepat ia akan menyerahkan tongkat ini ke orang selanjutnya. Katakanlah, saya sedang bercerita bahwa saya melihat wanita cantik di angkot, lalu saya memutuskan untuk berkenalan dengan wanita itu. Tiba-tiba pada bab berikutnya si aku akan menjadi wanita cantik di angkot, dan ia bercerita persis saat cerita itu saya tinggalkan. Mungkin ia akan bercerita bertemu pria tampan yang cukup punya nyali untuk berkenalan di angkot. Wanita ini, kegirangan, lalu menceritakan cerita ini ke temannya. Dan di bab berikutnya teman wanita inilah yang menjadi si aku, dan seterusnya-dan seterusnya.

Perlu kejelian dan keterampilan lebih untuk membawakan cerita dengan cara ini. Pertama, si penulis harus memiliki keluasan wawasan karakter manusia. Tak mungkin tokoh si tampan, pintar, dan baik hati memandang dunia dengan cara yang sama dengan karakter selanjutnya, wanita cantik dan anggun yang kemana-mana naik angkot. Dan memang itulah yang saya rasakan dari karya Orhan Pamuk ini. Setiap tokoh memiliki cara khasnya sendiri dalam bercerita, ada warnanya, ada iramanya, ada jiwanya. Tokoh wanita Shekure, bercerita dengan sangat wanita, penuh kepura-puraan, hati-hati, gengsian, dan dibalik semua keangkuhannya tetap saja dia memiliki kelemahan-kelemahan terhadap pria pujaan hatinya. Sementara itu tokoh prianya, Si Hitam, sangat romantis, selalu mengatasnamakan cinta pada Shekure untuk setiap tindakan yang ia ambil, selalu mendayu-dayu dan penuh perasaan melankolis pada saat ia menceritakan Shekure namun tetap ternyata memendam pikiran mesum terhadap Shekure. Si Pembunuh, penuh pembenaran diri, penyesalan, ketakutan, dan terus berusaha untuk meyakinkan orang lain dan dirinya sendiri bahwa ia masih sama seperti yang dulu, sebelum menjadi pembunuh. Begitu juga dengan Si Pohon, Si Keping Emas, Si Paman Tercinta, dan tokoh-tokoh lainnya. Kedua adalah, kemampuan untuk Keep It Together!! Jangan kehilangan fokus, must stick to the plan, jangan meleng, dan tenggelam dengan salah satu tokoh saja. Lagi-lagi Orhan Pamuk mengeksekusi ini dengan baik. Meskipun membaca novel ini seperti menonton lomba lari estafet, tapi tetap yang kita bisa melihat benang merah ceritanya, tetap yang menjadi fokus adalah ceritanya tidak terjebak ke pengkultusan salah satu tokoh.

Jadi, all and all, cerita ini menyenangkan untuk dibaca. Sedikit berbeda dari karya-karya peraih nobel lainnya yang selalu berjalan dengan tempo lambat dan terlalu lama dalam membangun latar belakang cerita.