Showing posts with label buku. Show all posts
Showing posts with label buku. Show all posts

Tuesday, August 14, 2007

Undercover Economist

Sudah pernah baca Undercover Economist-nya Tim Harford? Nah seperti itulah seharusnya buku ekonomi ditulis. Renyah, kocak, penuh dengan contoh yang bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari, intinya, ini adalah the best book ever untuk genre ekonomi yang pernah saya baca, disusul oleh Freakonomics tentu saja. Tapi, in my humble opinion, bahkan Freakonomics sebagai runner up pun kalah jauh dari buku ini.


Saya menjadi tambah suka buku ini ketika hari sabtu lalu nonton Alone di Bitzmegaplex. Ke sana nonton bareng Adhy, pacarnya Indri, dan temannya Cut. Setelah nonton, karena alasan yang sebenarnya tidak jelas (sebenarnya Adhy mau beli barang keperluan FKG, tapi buat saya tentu saja tidak jelas), kami memutuskan untuk pergi ke carrefour. Di sana ternyata ujung-ujungnya hanya menemani Adhy belanja barang-barang, jadi saya hanya mondar-mandir saja ke sana kemari melihat-lihat barang. Salah satu yang menarik adalah ada barang-barang dengan merk Carrefour. Barang-barang ini konon menurut temannya Adhy punya mutu jelek, kemasan jelek, dan tentu saja hanya menang di harga. Contohnya adalah cairan pembersih lantai merk Carrefour, cairannya encer, hampir-hampir seperti air. Sama saja seperti beli aqua :p. Terus kenapa barang-barang jelek dan murahan ini tetap dijual?


Menurut buku Undercover Economist itu hanyalah strategi penjualan, sales gimick. Pemikirannya kurang lebih seperti ini. Di mata para kapitalis - semoga Tuhan memberkati mereka - , konsumen terbagi menjadi dua jenis saja, orang-orang yang price insensitive - mari kita sebut orang-orang ini tambang uang - dan price sensitive, atau si pelit. Banyak strategi yang sudah diterapkan dan makalah yang sudah ditulis agar si pelit dengan suka rela membeli barang yang ditawarkan penjual. Contohnya adalah diferensiasi harga. Secangkir kopi di starbukcks yang dijual dengan berbagai variasi harga adalah salah satu contohnya.


Sebenarnya tantangan yang paling sulit adalah bagaimana menjamin si tambang uang untuk tidak membeli barang-barang yang lebih murah. Contoh untuk pasta gigi, ada sensodyne yang memiliki harga paling tinggi, disusul dengan pepsodent. Si tambang uang, tentu saja mampu membeli sensodyne, tapi tidak ada yang melarang ia membeli pepsodent kan? Nah jika ia membeli pepsodent ini akan merugikan Carrefour, tentu saja, menjual Sensodyne jauh lebih menguntungkan buat Carrefour karena keuntungannya lebih besar. Maka salah satu strateginya adalah dengan membuat produk dengan merk Carrefour. Biasanya disimpan dengan sengaja di deretan sensodyne dan pepsodent, punya desain produk yang lebih jelek, kering dan tidak sedap dipandang mata, dan tentu saja, kualitas odol yang boleh dibilang pas-pasan. Harapannya adalah pada saat si tambang uang melihat ketiga produk ini ia akan mendapatkan pesan bahwa semakin mahal harga produk semakin bagus pula produk tersebut - padahal tentu saja tidak seperti itu -. Nah, jika pun si tambang uang membeli pasta gigi Carrefour, Carrefour akan memastikan bahwa ia akan kecewa dengan kualitas barangnya. Jadi, pada saat ia membeli barang lagi di Carrefour ia tidak akan tanggung-tanggung untuk membeli pasta gigi dengan harga paling mahal.


Ada risikonya tentu saja. Risikonya adalah pembeli yang kecewa dengan Carrefour, toh bagaimanapun juga barang tersebut membawa brand Carrefour ya kan? Tapi saya kira, Carrefour tidak akan kehilangan konsumen bagaimanapun juga. Konsumen datang ke Carrefour untuk membeli barang berbagai macam merk, bukan merk Carrefour. Brand positioning Carrefour bukan di lini produk tapi sebagai tempat membeli produk-produk tersebut.


Nah ini ada lagi contoh strategi untuk memaksimalkan keuntungan dari si tambang uang. Contohnya adalah harga makanan di bioskop. Semua orang sudah maklum kalau harga makanan di bioskop selangit. Kenapa ada yang mau repot-repot beli makanan di bioskop? Maksudnya, saya tahu bahwa harga makanan di bioskop mahal dan jika saya seorang pelit maka saya membeli makan dari luar lalu menyelendupkannya ke dalam bioskop atau malah tidak membeli makanan sama sekali. Dan saya yakin orang-orang seperti saya banyak, lalu bukannya dengan demikian malah akan membuang-buang waktu menjual makanan di bioskop? Tapi sekali lagi, makanan di bioskop memang bukan ditujukan kepada si pelit tapi ke si tambang uang. Menurut buku itu, cara ini adalah untuk mengenali siapa yang tambang uang dan siapa yang pelit. Tambang uang ada di mana-mana, dan tugas kapitalislah dengan segala cara untuk mengenali mereka dan mengeruk duit mereka, heehehe...


Buku ini memang benar-benar membuka mata saya. Gile kan, sekali jalan ke Paris Van Java saja saya sudah menemui banyak contoh dari buku itu yang benar-benar sedang terjadi! Baik itu sales gimick, strategi jualan, pricing, atau akal bulus kapitalis lainnya untuk mengeruk habis duit si tambang uang. (Ck dasar nih, berarti kita sedang dikeruk habis2an, katanya emang sih, kapitalis itu orang yang memutar otak (atau membayar orang lain untuk memutar otak) untuk mengeruk uang kita sampai rupiah terakhir, hmm, cara untuk selamat adalah tentu saja menjadi salah satu dari mereka, hahaha.. LOL).


Sangat menantikan buku sejenis deh.


NB: Salah satu contoh lainnya yang sangat menarik dijelaskan di buku itu adalah bagaimana kita tidak mungkin bisa membeli mobil bekas dengan kualitas bagus. Hehe.. argumentasinya unik. Kapan-kapan saya tulis di sini.

Tuesday, July 10, 2007

What a style..

Baru kali ini saya membaca buku sejenis My Name is Red kaya Orhan Pamuk. Saya yakin gaya bertutur multiple-point-of-view buku ini tidak orisinal-orisinal amat. Beberapa penulis Indonesia, sebut saja Ayu Utami, atau Dee dengan karya ambisiusnya, supernova, menggunakan gaya ini. Tapi, saya kira Ayu Utami maupun Dee tidak murni menggunakan gaya multiple-point-of-view. Di Saman ataupun Supernova pembaca masih dapat dengan cekatan memilah-milah siapa sedang bercerita apa, alasannya ya karena biasanya satu tokoh diberi porsi cukup besar, biasanya berpuluh-puluh halaman, untuk menceritakan cerita versi dirinya. MNISR lain, terutama karena cerita bergulir seperti lomba lari estafet. Pemegang tongkat akan menceritakan kisah dari sudut pandangnya sendiri dengan alur murni maju dan kemudian dengan cepat ia akan menyerahkan tongkat ini ke orang selanjutnya. Katakanlah, saya sedang bercerita bahwa saya melihat wanita cantik di angkot, lalu saya memutuskan untuk berkenalan dengan wanita itu. Tiba-tiba pada bab berikutnya si aku akan menjadi wanita cantik di angkot, dan ia bercerita persis saat cerita itu saya tinggalkan. Mungkin ia akan bercerita bertemu pria tampan yang cukup punya nyali untuk berkenalan di angkot. Wanita ini, kegirangan, lalu menceritakan cerita ini ke temannya. Dan di bab berikutnya teman wanita inilah yang menjadi si aku, dan seterusnya-dan seterusnya.

Perlu kejelian dan keterampilan lebih untuk membawakan cerita dengan cara ini. Pertama, si penulis harus memiliki keluasan wawasan karakter manusia. Tak mungkin tokoh si tampan, pintar, dan baik hati memandang dunia dengan cara yang sama dengan karakter selanjutnya, wanita cantik dan anggun yang kemana-mana naik angkot. Dan memang itulah yang saya rasakan dari karya Orhan Pamuk ini. Setiap tokoh memiliki cara khasnya sendiri dalam bercerita, ada warnanya, ada iramanya, ada jiwanya. Tokoh wanita Shekure, bercerita dengan sangat wanita, penuh kepura-puraan, hati-hati, gengsian, dan dibalik semua keangkuhannya tetap saja dia memiliki kelemahan-kelemahan terhadap pria pujaan hatinya. Sementara itu tokoh prianya, Si Hitam, sangat romantis, selalu mengatasnamakan cinta pada Shekure untuk setiap tindakan yang ia ambil, selalu mendayu-dayu dan penuh perasaan melankolis pada saat ia menceritakan Shekure namun tetap ternyata memendam pikiran mesum terhadap Shekure. Si Pembunuh, penuh pembenaran diri, penyesalan, ketakutan, dan terus berusaha untuk meyakinkan orang lain dan dirinya sendiri bahwa ia masih sama seperti yang dulu, sebelum menjadi pembunuh. Begitu juga dengan Si Pohon, Si Keping Emas, Si Paman Tercinta, dan tokoh-tokoh lainnya. Kedua adalah, kemampuan untuk Keep It Together!! Jangan kehilangan fokus, must stick to the plan, jangan meleng, dan tenggelam dengan salah satu tokoh saja. Lagi-lagi Orhan Pamuk mengeksekusi ini dengan baik. Meskipun membaca novel ini seperti menonton lomba lari estafet, tapi tetap yang kita bisa melihat benang merah ceritanya, tetap yang menjadi fokus adalah ceritanya tidak terjebak ke pengkultusan salah satu tokoh.

Jadi, all and all, cerita ini menyenangkan untuk dibaca. Sedikit berbeda dari karya-karya peraih nobel lainnya yang selalu berjalan dengan tempo lambat dan terlalu lama dalam membangun latar belakang cerita.

Saturday, December 23, 2006

Tolstoy vs Sartre

Sekitar dua minggu lalu saya pergi ke Togamas. Saya tidak sendirian sebenarnya, saya bersama teman saya Luki, ia yang menunjukkan toko buku ini, sebelumnya saya tidak pernah ke sini. Togamas adalah toko buku gaya baru. Toko buku yang menerapkan strategi samudra biru kalau kata Luki sih. Kita bisa mendapatkan kenyamanan membeli buku seperti di gramedia, dengan komputer pencari dan sebagainya, tambah juga kita mendapatkan diskon untuk setiap buku, 15%. Jadi toko buku ini adalah hibrida antara gramedia dan palasari. Memang sih diskonnya tidak mencapai 20% seperti palasari, tapi yah hitung-hitung biaya kenyamanan dibandingkan dengan palasari yang susunan bukunya benar-benar acak-acakan (contohnya Bandung Book Center).

Awalnya sih saya ingin mencari bukunya Pramoedya, terakhir baca bukunya tuh kira-kira waktu kelas tiga SMA, buku Rumah Kaca. Sebelumnya saya baca Bumi Manusia, jadi kalau hitungannya kwartet Pulau Buru saya sudah seenaknya loncat dari buku pertama langsung ke buku keempat. Loncat dua buku. Makanya saya mencari Anak Semua Bangsa, buku kedua, supaya alur ceritanya jadi jelas. Tapi sayang Anak Semua Bangsa habis, persis seperti di palasari. Di gramedia sih ada, tapi sedikit malas soalnya harganya 80 ribu, nanti deh kalau sudah dapat kerja.

Jadilah setelah browsing-browsing beberapa buku, akhirnya saya nyantol dengan kumpulan cerpen Leo Tolstoy, judul bukunya mengambil salah satu judul cerpennya: Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu. Sebelumnya saya tidak tahu banyak tentang sosok peraih nobel yang satu ini. Saya hanya tahu kalau dia adalah penulis Rusia. Makanya, alam bawah sadar saya mulai berbuat nakal, dia langsung mencap Leo Tolstoy dengan tipikal orang-orang Rusia yang saya tahu dari film-film Hollywood: bau ( sepertinya sih), rambut acak-acakan, bicara asal-asalan, mabuk, jenggot tak terurus, dan yang paling gawat dan mengerikan dari semuanya, Komunis.

Kemudian, seperti juga semua prasangka, saya salah. Tolstoy bahkan mati sebelum Rusia menjadi negara komunis, ia mati tahun 1910. Jadi dapat dibilang Tolstoy hidup pada abad ke-19. Cerpen-cerpennya mengangkat tema utama permasalahan yang ada pada abad itu, yaitu masalah tuan tanah dengan petani, juga ada satu dua cerpen yang mengangkat kehidupan kaum borjuis Rusia. Tapi kemudian, cerpen-cerpennya pun tidak mengangkat masalah konflik antar kelas petani dan tuan tanah, tidak secara kentara. Saya melihatnya justru cerpen-cerpen Tolstoy bergulat dengan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Serius! Suatu pukulan berat bagi prasangka saya sebelumnya, yang kadung menganggap bahwa Tolsytoy komunis dan kemudian secara otomatis juga ateis – maklum jebolan SD Orde Baru. Selalu saja ada pesan moral dalam cerpennya, membacanya seperti membaca ulang cerita Si Kancil Mencuri Ketimun. Suatu pengalaman baru.

Kemudian saya teringat Sartre, justru karena tidak ada titik temu di antara kedua tokoh ini. Tidak banyak orang yang tahu kalau berkat inspirasi dari Sartrelah saya merumuskan Hukum Pertama Ikhsan: Shit just happens for no reason (Hukum Ikhsan Ke-1). Saya sengaja tulis dalam Bahasa Inggris biar lebih greget, kalau-kalau ada yang belum bisa Bahasa Inggris, terjemahannya kira-kira seperti ini: Kemalangan terjadi begitu saja tanpa alasan. Yah kurang lebih cerpen-cerpennya Sartre selalu mengangkat tema yang selaras dengan Hukum Ikhsan Ke-1. Cerpen-cerpennya selalu menegaskan bahwa hidup dan mati manusia selalu berlalu begitu saja. Tanpa makna, tanpa arti. Semua kesakitan dan penderitaan manusia yang harus dialami juga sama, semuanya tanpa makna dan tanpa arti. Dunia yang gelap dan tanpa harapan. Setiap manusia seperti keledai dungu yang hanya menunggu ajal. Satu saat kita bisa saja hidup sehat dan kuat, tapi sedetik kemudian kita tiba-tiba mati, menghilang dari dunia ini, dan tidak ada orang yang dapat mengatakan kenapa harus seperti itu.

Sepertinya lucu juga kalau cerpen Tolstoy ditulis ulang oleh Sartre, maksud saya cerpen hasilnya pasti membuat dongkol pembaca. Tolstoy seringkali menggambarkan tokoh malang yang sepertinya kehidupan tidak pernah memihak dia. Namun, untung bagi pembaca, si tokoh pada akhirnya menemukan kebahagiaan sejati. Seperti misalnya di cerpen Ilyas, Alyosha, dan Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu. Jadi setelah membaca cerpennya saya akan merasa tenang, karena ternyata di kehidupan ini ada sesuatu yang memang layak diperjuangkan dan jika kita berjuang cukup keras, pada akhirnya kita akan bahagia. Sartre merusak semua ini. Tidak! Ia bilang dengan tegas, manusia tidak ditakdirkan untuk bahagia, semua akan berakhir dengan kesia-siaan bukan kebahagiaan. Misalkan kita ambil satu cerpen sebagai contoh, katakanlah Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu. Di cerpen aslinya, tokoh Aksenof melindungi dan memaafkan orang yang telah memfitnahnya, Makar, setelah sebelumnya Makar membuat Aksenof harus menghabiskan 26 tahun hidupnya sebagai narapidana di Siberia. Tapi kemudian, 26 tahun hidupnya tidak terbuang percuma, karena tepat setelah ia melindungi dan memaafkan orang yang telah memfitnahnya, Aksenof merasakan kebahagiaan sejati. Ia akhirnya mati dalam ketenangan. Coba saja cerita ini diserahkan kepada Sartre, setelah Aksenof melindungi dan memaafkan Makar, Makar malah menjerumuskan Aksenof ke dalam kemalangan untuk yang keduakalinya, dan pada akhirnya Aksenof harus hidup dan mati sia-sia. Tidak ada kebaikan di dunia ini, tidak ada kebahagiaan di dunia ini, semuanya adalah kesia-siaan. Tapi yah kedua penulis ini memang memiliki genre yang berbeda dan sulit sekali rasanya untuk mereka-reka bentuk suatu cerpen andaikata cerpen itu ditulis oleh orang yang berbeda.

Kalau harus memilih di antara kedua penulis ini, sepertinya saya harus memilih Sartre. Soalnya, setelah membaca Sartre saya akan merasa senang: Bagus!! Ternyata ada orang yang lebih sial dari saya. Sedangkan setelah baca Tolstoy, saya selalu bertanya-tanya: emang ada yah orang macam gini sekarang?? Jadi yah ini mah hanya soal selera. Silakan pilih yang kamu suka.

Sunday, November 05, 2006

Life of Pi

Yann Martel menulis Life of Pi pada tahun 2001. Namun, buku ini baru keluar di Indonesia pada tahun 2005. Sepertinya ini sudah menjadi pola, buku-buku bagus selalu terlambat 4 atau 5 tahun untuk diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Tidak ada pasar mungkin, atau mungkin juga tidak ada kejelian dari pihak penerbit untuk mengetahui buku mana yang bagus atau tidak sehingga perlu untuk dilempar ke pasaran. Biasanya setelah buku tersebut beredar setahun dua tahun di pasaran dan kemudian menjadi hit, di-shortlisted untuk penghargaan tertentu barulah para penerbit sudi untuk bersusah payah menerjemahkan dan lalu melepasnya ke khalayak.

Buku ini memperoleh penghargaan Man Booker Prize, meskipun dengan banyak anggapan bahwa pemberian penghargaan ini adalah suatu kesalahan. Alasannya sederhana saja, Yann Martel dituduh melakukan plagiarisme. Martel dianggap mencuri gagasan dari penulis Brazil keturunan Yahudi, Moacyr Scliar, meskipun Martel dalam novelnya sudah menuliskan rasa terima kasih pada penulis Brazil ini. Scliar pun menuntut meskipun kemudian dibatalkannya setelah lobi-lobi yang dilakukan oleh Martel.

Terlepas dari semua tudingan dan perkara ini, The Life of Pi adalah novel yang bagus, jika enggan mengatakan luar biasa. Seperti yang dikatakan oleh salah satu tokohnya, "Setelah mendengar cerita ini, kamu akan percaya pada Tuhan". Cerita luar biasa ini berkisah mengenai pejuangan bertahan hidup seorang bocah bernama Piscine Moritol Patel - Pi. Pi, pada suatu malam di tahun 1977, karam di tengah samudra pasifik. Hanya ia satu-satunya manusia yang berhasil selamat dan dengan aman berada di atas sebuah sekoci. Namun, Pi tidak menyangka bahwa ia bukanlah satu-satunya makhluk yang selamat, karena di sekoci itu terdapat seekor hyena, zebra yang patah kakinya, seekor tikus, orang utan betina, dan yang paling mengejutkan adalah kehadiran seekor harimau Royal Bengal seberat 225 kilogram bernama Richard Parker.

Pemilihan nama Richard Parker sendiri ternyata cukup unik. Martel mengatakan bahwa pemberian nama Richard Parker pada harimau Royal Bengal tersebut diinspirasi setidaknya oleh tiga buah kisah. Sayangnya saya hanya mengingat satu kisah saja, karena kisah nyata ini sedikit membuat bulu kuduk berdiri. Pada tahun 1840, sebuah kapal tenggelam, hanya empat orang yang selamat. Tiga orang di antaranya adalah awak kapal sedangkan seorang lagi adalah penumpang kapal yang masih bocah. Setelah dua minggu terombang-ambing di lautan, pasokan makanan mereka habis. Tidak ada alat pancing, jala, atau apapun yang dapat menjadi alat bantu mendapatkan ikan kala itu. Setelah berhari-hari dalam kondisi seperti ini, akhirnya salah satu pelaut mendapatkan ide: supaya mereka dapat selamat, salah satu dari mereka harus berkorban. Bocah kecil itulah yang dipilih, tentu karena bocah ini yang paling lemah, dan bocah ini juga bukan salah satu dari mereka. Demikianlah dari hari ke hari, sedikit demi sedikit, sepotong demi sepotong, sesuap demi sesuap, mereka mulai memakan bocah ini hidup-hidup. Pada akhir cerita tiga orang pelaut ini selamat dan dibawa ke pengadilan atas tuduhan pembunuhan seorang manusia bernama Richard Parker, sang bocah.

Kembali ke Richard Parker sang harimau. Setelah beberapa minggu hanya dua makhluk yang berada dalam sekoci. Pi dan Richard Parker. Pi harus bertahan hidup dan dari titik inilah cerita menjadi benar-benar hidup.

Pada bagian-bagian akhir, cerita ini mulai menyimpang ke arah surealis-magis. Pertemuan dengan koki perancis buta yang terombang-ambing di lautan pasifik sampai pada pendaratan di sebuah pulau, yang kemudian diketahui bahwa ternyata pulau ini adalah kumpulan ganggang karnivora. Saya sedikit bingung pada titik ini, kesia-siaan, pikir saya. Sebuah cerita yang sudah dibangun di atas fondasi yang kokoh dan nyata harus berakhir seperti ini. Tapi kemudian, Martel membanting kembali cerita ini ke fondasinya yang kokoh. Pada saat Pi selamat dan dirawat di sebuah rumah sakit di Meksiko, ia didatangi dua orang Jepang yang bertugas untuk menyelidiki kecelakaan kapal yang dinaiki Pi, setalah mendengar cerita Pi mereka menyatakan keraguannya. Tidak mungkin, sahut kedua Jepang itu, seorang bocah, sebuah sekoci, dan seekor harimau terlalu sulit dipercaya oleh akal sehat. Terlebih lagi pulau karnivora dan pertemuan dengan koki perancis. Pada saat inilah Pi menceritakan versi lain cerita ini yang 'tanpa binatang-binatang' jika itu dapat memuaskan pikiranmu yang kering dan tanpa imajinasi, ucapnya. Tentu saja andalah yang memilih antara 'versi dengan binatang-binatang' dan 'versi lain yang tanpa binatang-binatang' yang kering dan tidak imajinatif.

“If you stumble at mere believability,” Pi replies, “what are you living for?… Love is hard to believe, ask any lover. Life is hard to believe, ask any scientist. God is hard to believe, ask any believer.”