Saturday, December 23, 2006

Tolstoy vs Sartre

Sekitar dua minggu lalu saya pergi ke Togamas. Saya tidak sendirian sebenarnya, saya bersama teman saya Luki, ia yang menunjukkan toko buku ini, sebelumnya saya tidak pernah ke sini. Togamas adalah toko buku gaya baru. Toko buku yang menerapkan strategi samudra biru kalau kata Luki sih. Kita bisa mendapatkan kenyamanan membeli buku seperti di gramedia, dengan komputer pencari dan sebagainya, tambah juga kita mendapatkan diskon untuk setiap buku, 15%. Jadi toko buku ini adalah hibrida antara gramedia dan palasari. Memang sih diskonnya tidak mencapai 20% seperti palasari, tapi yah hitung-hitung biaya kenyamanan dibandingkan dengan palasari yang susunan bukunya benar-benar acak-acakan (contohnya Bandung Book Center).

Awalnya sih saya ingin mencari bukunya Pramoedya, terakhir baca bukunya tuh kira-kira waktu kelas tiga SMA, buku Rumah Kaca. Sebelumnya saya baca Bumi Manusia, jadi kalau hitungannya kwartet Pulau Buru saya sudah seenaknya loncat dari buku pertama langsung ke buku keempat. Loncat dua buku. Makanya saya mencari Anak Semua Bangsa, buku kedua, supaya alur ceritanya jadi jelas. Tapi sayang Anak Semua Bangsa habis, persis seperti di palasari. Di gramedia sih ada, tapi sedikit malas soalnya harganya 80 ribu, nanti deh kalau sudah dapat kerja.

Jadilah setelah browsing-browsing beberapa buku, akhirnya saya nyantol dengan kumpulan cerpen Leo Tolstoy, judul bukunya mengambil salah satu judul cerpennya: Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu. Sebelumnya saya tidak tahu banyak tentang sosok peraih nobel yang satu ini. Saya hanya tahu kalau dia adalah penulis Rusia. Makanya, alam bawah sadar saya mulai berbuat nakal, dia langsung mencap Leo Tolstoy dengan tipikal orang-orang Rusia yang saya tahu dari film-film Hollywood: bau ( sepertinya sih), rambut acak-acakan, bicara asal-asalan, mabuk, jenggot tak terurus, dan yang paling gawat dan mengerikan dari semuanya, Komunis.

Kemudian, seperti juga semua prasangka, saya salah. Tolstoy bahkan mati sebelum Rusia menjadi negara komunis, ia mati tahun 1910. Jadi dapat dibilang Tolstoy hidup pada abad ke-19. Cerpen-cerpennya mengangkat tema utama permasalahan yang ada pada abad itu, yaitu masalah tuan tanah dengan petani, juga ada satu dua cerpen yang mengangkat kehidupan kaum borjuis Rusia. Tapi kemudian, cerpen-cerpennya pun tidak mengangkat masalah konflik antar kelas petani dan tuan tanah, tidak secara kentara. Saya melihatnya justru cerpen-cerpen Tolstoy bergulat dengan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Serius! Suatu pukulan berat bagi prasangka saya sebelumnya, yang kadung menganggap bahwa Tolsytoy komunis dan kemudian secara otomatis juga ateis – maklum jebolan SD Orde Baru. Selalu saja ada pesan moral dalam cerpennya, membacanya seperti membaca ulang cerita Si Kancil Mencuri Ketimun. Suatu pengalaman baru.

Kemudian saya teringat Sartre, justru karena tidak ada titik temu di antara kedua tokoh ini. Tidak banyak orang yang tahu kalau berkat inspirasi dari Sartrelah saya merumuskan Hukum Pertama Ikhsan: Shit just happens for no reason (Hukum Ikhsan Ke-1). Saya sengaja tulis dalam Bahasa Inggris biar lebih greget, kalau-kalau ada yang belum bisa Bahasa Inggris, terjemahannya kira-kira seperti ini: Kemalangan terjadi begitu saja tanpa alasan. Yah kurang lebih cerpen-cerpennya Sartre selalu mengangkat tema yang selaras dengan Hukum Ikhsan Ke-1. Cerpen-cerpennya selalu menegaskan bahwa hidup dan mati manusia selalu berlalu begitu saja. Tanpa makna, tanpa arti. Semua kesakitan dan penderitaan manusia yang harus dialami juga sama, semuanya tanpa makna dan tanpa arti. Dunia yang gelap dan tanpa harapan. Setiap manusia seperti keledai dungu yang hanya menunggu ajal. Satu saat kita bisa saja hidup sehat dan kuat, tapi sedetik kemudian kita tiba-tiba mati, menghilang dari dunia ini, dan tidak ada orang yang dapat mengatakan kenapa harus seperti itu.

Sepertinya lucu juga kalau cerpen Tolstoy ditulis ulang oleh Sartre, maksud saya cerpen hasilnya pasti membuat dongkol pembaca. Tolstoy seringkali menggambarkan tokoh malang yang sepertinya kehidupan tidak pernah memihak dia. Namun, untung bagi pembaca, si tokoh pada akhirnya menemukan kebahagiaan sejati. Seperti misalnya di cerpen Ilyas, Alyosha, dan Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu. Jadi setelah membaca cerpennya saya akan merasa tenang, karena ternyata di kehidupan ini ada sesuatu yang memang layak diperjuangkan dan jika kita berjuang cukup keras, pada akhirnya kita akan bahagia. Sartre merusak semua ini. Tidak! Ia bilang dengan tegas, manusia tidak ditakdirkan untuk bahagia, semua akan berakhir dengan kesia-siaan bukan kebahagiaan. Misalkan kita ambil satu cerpen sebagai contoh, katakanlah Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu. Di cerpen aslinya, tokoh Aksenof melindungi dan memaafkan orang yang telah memfitnahnya, Makar, setelah sebelumnya Makar membuat Aksenof harus menghabiskan 26 tahun hidupnya sebagai narapidana di Siberia. Tapi kemudian, 26 tahun hidupnya tidak terbuang percuma, karena tepat setelah ia melindungi dan memaafkan orang yang telah memfitnahnya, Aksenof merasakan kebahagiaan sejati. Ia akhirnya mati dalam ketenangan. Coba saja cerita ini diserahkan kepada Sartre, setelah Aksenof melindungi dan memaafkan Makar, Makar malah menjerumuskan Aksenof ke dalam kemalangan untuk yang keduakalinya, dan pada akhirnya Aksenof harus hidup dan mati sia-sia. Tidak ada kebaikan di dunia ini, tidak ada kebahagiaan di dunia ini, semuanya adalah kesia-siaan. Tapi yah kedua penulis ini memang memiliki genre yang berbeda dan sulit sekali rasanya untuk mereka-reka bentuk suatu cerpen andaikata cerpen itu ditulis oleh orang yang berbeda.

Kalau harus memilih di antara kedua penulis ini, sepertinya saya harus memilih Sartre. Soalnya, setelah membaca Sartre saya akan merasa senang: Bagus!! Ternyata ada orang yang lebih sial dari saya. Sedangkan setelah baca Tolstoy, saya selalu bertanya-tanya: emang ada yah orang macam gini sekarang?? Jadi yah ini mah hanya soal selera. Silakan pilih yang kamu suka.

3 comments:

Lucky said...

wah, saya juga sering ngira tolstoy komunis, bahkan u!salah seorang ideolog komunis berat. eh, ternyata saya keliru dengan 'trotsky', hehehehe, padahal jauh ya? tapi ga tau, suka ketuker aja.

wah, mndingan tolstoy dong kalo gitu! baca sartre berasa hidup ini..nothing, dan bikin depresi 9setidaknya itulah yg saya simpulin dari baca beberapa halamannya...hehehehe)

lake of mind said...

Kedua penulis ini memang amat bertolak belakang. Karya2 Tolstoy memang religiusitasnya begitu kentara apa lagi karya yang dihasilkan setalah masa pencerahannya. Sedangkan karya2 sartre sangat absurd mungkin hal ini dipengaruhi oleh pengalaman masa kecilnya yang malang.. Namun saya lebih suka Tostoy pergulatan batin setiap tokoh dalam karyanya begitu detail sulit dibandingkan oleh penulis lain..

no mind said...

ya begini ini kalau lahir di era orba termakan propaganda orba. anggapannya komunis jahat, atheis, biadab dsb yang negatif2.
komunis tidak seperti yang anda bayangkan. banyak orang2 komunis yang religius, komunis tidak ada hubungannya dengan agama, tidak ada hubungannnya dengan kejahatan.
banyak2 membaca, selamat belajar melihat sesuatu tidak cuma dari satu kacamata.